Persetujuan Renville 17 Januari 1948
Sebagai akibat agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia tanggal 21 Juli 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) atas usul India dan Australia mengambil tindakan. Pada tanggal 1 Agustus 1947 DK-PBB menerima resolusi yang pertama mengenai sengketa Indonesia-Belanda dan mempersilahkan kedua belah pihak supaya segera menghentikan permusuhan. DK-PBB menyerukan kedua pihak untuk :
(1) Menghentikan permusuhan dengan segera.
(2) Perbedaan-perbedaan dipecahkan dengan arbitrasi atau sarana-sarana damai lainnya dan memberitahu DK-PBB mengenai hal ini.
Atas dasar resolusi inilah kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1947 memerintahkan “penghentian tembak-menembak” pada pukul 00.00 WIB.
Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1947, DK-PBB menerima dua resolusi. Resolusi pertama diajukan oleh Australia yang didukung oleh China dan resolusi kedua diajukan oleh Amerika Serikat. Resolusi yang diajukan oleh Amerika Serikat mencakup pembentukkan suatu komisi yang terdiri dari dari tiga anggota Dewan Keamanan (DK) yang akan membantu kedua belah pihak dalam pemecahan sengketa (kemudian dikenal dengan “Komisi Jasa-jasa Baik”-Committee of Good). Tiap pihak dapat memilih satu anggota masing-masing dan anggota ketiga akan ditunjuk oleh kedua anggota yang telah dipilih.
Bersamaan dengan itu, keesokan harinya, yaitu pada tanggal 26 Agustus 1947 DK-PBB menerima suatu resolusi. Di dalam resolusi ini kedua pemerintahan kembali diperingatkan tentang resolusi DK-PBB tanggal 1 Agustus 1947, karena aksi saling tembak-menembak antara pihak Republik dan Belanda masih terus berlangsung. Resolusi yang senada kembali diulang pada tanggal 1 November 1947.
Akhirnya DK-PBB menyadari bahwa penghentian tembak-menembak di Jawa dan Sumatera tidak dapat diefektifkan, selama tidak ada pemecahan politik mengenai sengketa Indonesia-Belanda. Segera setelah itu Komisi Jasa-jasa Baik DK-PBB mulai lebih intensif menjalankan tugasnya. Belanda menunjuk Belgia sebagai wakilnya dan kemudian mengangkat Paul van Zeeland, seorang diplomat ulung, sebagai anggota komisi.
Indonesia menunjuk Australia yang kemudian mengangkat Richard C. Kirby, seorang hakim, sebagai anggota komisi. Amerika Serikat yang terpilih sebagai anggota komisi yang ketiga menunjuk Prof. Frank Porter Graham, rektor Universitas North Carolina, sebagai anggota komisi. Dalam sejarah Indonesia Komisi Jasa-jasa Baik DK-PBB ini dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN).
Kewajiban KTN adalah memberikan bantuan kepada kedua belah pihak untuk mencapai pemecahan politik mengenai sengketa Indonesia-Belanda. Anjuran pertama KTN terhadap kedua belah pihak adalah menunjuk tempat perundingan yang akan diadakan. KTN mengusulkan mengadakan perundingan di sebuah kapal laut, yang berlabuh di luar ‘mintakat’ (zona) tiga mil. Dan bila hal ini disetujui, kedua belah pihak mengajukan kepada pemerintah Amerika Serikat supaya menyediakan kapal laut.
Kedua belah pihak menyetujui hal ini dan Amerika Serikat menyediakan sebuah kapal pengangkut pasukan. Pada tanggal 2 Desember 1947 munculah USS Renville di teluk Jakarta dan di kapal ini akan dilangsungkan perundingan antara Indonesia dan Belanda dibawah pengawasan KTN. Perundingan tersebut dimulai pada tanggal 8 Desember 1947.
Delegasi Indonesia terdiri dari :
(1) Mr. Amir Sjarifoedin, ketua
(2) Mr. Ali Sastroamidjojo, wakil ketua
(3) Dr. Tjoa Sik Ien, anggota
(4) Sutan Sjahrir, anggota
(5) Haji Agoes Salim, anggota
(6) Mr. Nasrun, anggota
(7) Ir. Djoeanda, anggota pengganti
(8) Drs. Setiadjid, anggota pengganti
Sedangkan delegasi Belanda terdiri dari :
(1) Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo, ketua
(2) Jhr. Mr. H.L.F.K. van Vredenburch, ketua pengganti
(3) Mr.Dr.Ch. Somoukil, anggota
(4) Dr.P.J. Koets, anggota
(5) Mr. Tengku Dzulkarnain, anggota
(6) Adji Pangeran Kartanegara, anggota
(7) Masjarif Gelar Lelo, anggota
(8) Mr.H.H. Ophuyzen, anggota
(9) Thio Thian Tjong, anggota
(10) J. Tahiya, anggota
(11) Letnan Jenderal D.C.Buurman van Vreeden, anggota
(12) N.L. Jacob, anggota
(13) D. Bolderhey, anggota
Kepada setiap delegasi diperbantukan sejumlah penasehat, sekretaris dan perwira penghubung.
Tak pelak lagi, salah satu pokok terpenting dari perundingan Renville adalah penghentian tembak menembak dan permasalahan garis demarkasi/garis van Mook. Delegasi Belanda berpegang kepada apa yang disebut ‘Garis van Mook’, sebagaimana yang diumumkan oleh van Mook pada tanggal 29 Agustus 1947. Garis ini adalah yang menghubungkan pos-pos militer Belanda terdepan, dan ini merupakan batas wilayah yang dikuasai Belanda. Pihak Indonesia tidak mengakui Garis van Mook, karena pasukan-pasukan tempur Republik masih merupakan kesatuan-kesatuan tentara yang utuh, yang beroperasi dalam garis-garis ini. Karena tidak dapat mencapai titik temu, perundingan memakan waktu yang cukup lama yaitu sekitar satu bulan lebih.
Namun demikian, di bawah tekanan persenjataan militer Belanda yang lebih modern, akhirnya pihak republik “mengalah” dengan mau menerima ‘Garis van Mook’. Menurut Ricklefs (2008), adalah suatu tindakan yang sebagian didorong oleh kurangnya amunisi di pihak Republik. Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo memprotes tindakan pemerintah Indonesia tersebut dan mengundurkan diri dari TNI pada tanggal 9 Januari 1948. Ia menganggap pemerintah terlalu murah menaksir angkatan perangnya sendiri.
Sebagai akibat menerima ‘Garis van Mook’ maka daerah Republik Indonesia di Jawa tinggal bagian ujung barat (Banten), Jawa Tengah dikurangi kota-kota pelabuhan di tepi pantai utara, sebagian Madura serta ujung timur dari Jawa Timur. Dan implikasi berikutnya adalah seluruh tentara Indonesia yang masih berada di dalam ‘Garis van Mook’ harus mundur ke daerah Republik.
Divisi Siliwangi terimbas dampak yang paling besar, mereka harus memindahkan sekitar 35.000 pasukannya ke daerah Republik terutama di Jawa Tengah. Mereka pindah melalui dua jalur utama yaitu melalui pelabuhan Cirebon kemudian diangkut menggunakan kapal menuju pelabuhan Rembang dan melalui stasiun kereta api Perudjakan yang mengantarkan mereka ke kota Gombong.
Tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani kesepakatan gencatan senjata antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Amir Sjarifoedin dan Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo yang mewakili pihak Belanda di atas kapal Renville. Secara umum ‘Persetujuan Renville’ terdiri dari tiga bagian : (1) 10 pasal tentang gencatan senjata (2) 12 pasal tentang politik dan (3) 6 pasal tambahan dari KTN.
Seminggu setelah penandatangan ‘Persetujuan Renville’, pada tanggal 23 Januari 1948 Mr. Amir Sjarifoedin mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno dikarenakan anggota-anggota kabinet dari PNI dan Masyumi meletakkan jabatan sebagai aksi ketidaksetujuannya atas perundingan tersebut.
Pustaka :
(1) Perang Geriliya Perang Rakyat Semesta. Sutopo Jasamihardja dkk. Yayasan 19 Desember 1948. 1998
(2) Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan.1991.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Riclefs. Serambi. 2008.